Film Mencari Hilal akhirnya rilis juga pada 15 Juli. Film besutan Mizan ini memang dirilis sebagai salah satu film yang menemani liburan Idul Fitri masyarakat Indonesia. Saya pun berkesempatan menonton film itu pada hari pertama rilis. Sahabat saya, Ahada Ramadhana, yang mengajak saya untuk nonton bareng. Sempat tak mau, saya pun akhirnya mengiyakan. Ya itung-itung menemani malam terakhirnya di Jogja sebelum mudik ke Tenggarong.
Mencari Hilal sebuah film yang berkisah tentang Mahmud (Deddy Sutomo), seorang alumni pesantren yang memegang teguh ajaran Islam. Masa tuanya ia lalui dengan berdagang toko kelontong di pasar. Konflik pun mulai muncul. Mahmud diprotes pedagang lain lantaran ia membuat harga yang lebih rendah dari pedagang yang ada di pasar. Ia beranggapan harga yang dibuat telah mencekik para konsumen. Jika pedagang lain berdagang untuk mencari untung sebanyak-banyaknya, maka itu tak berlaku buat Mahmud. “Saya berdagang bukan cari untung, tapi ibadah,” katanya.
Saat melihat berita sidang isbat yang menelan dana Rp 9 miliar, Mahmud teringat dengan perjalanannya mencari hilal yang dilakukan secara sederhana. saat di pesantren. Ia pun ingin melakukan napak tilas sebagai bukti bahwa untuk menentukan awal dan akhir Ramadhan tak perlu dana yang sebegitu banyak.
Niat itu pun dilarang putrinya, Halida (Erythrina Baskoro), karena kesehatan ayahnya itu sudah tak stabil. Tapi Mahmud tetap nekat. Halida akhirnya menyetujui asal ditemani oleh Heli (Okka Antara). Heli merupakan anak Mahmud yang sudah lama tak pulang. Terjadi ketidakcocokan antara Heli dengan ayahnya yang membuat ia meninggalkan rumah. Karena akan pergi ke Nikaragua untuk misi sosial, Heli pulang meminta kakaknya yang bekerja di kantor imigrasi menguruskan paspornya. Ancaman kakaknya membuat dia mengiyakan permintaan kakaknya itu.
Perjalanan Mahmud dan Heli untuk mencari hilal inilah yang menyuguhkan berbagai konflik yang tak sesuai dengan cara pandang Mahmud. Ia ditunjukkan sopir bus yang tak puasa dengan alasan kerjanya berat. Ia lalu menceramahi si sopir dengan berbagai laknat, dosa, dan neraka yang akan dilimpahkan bagi orang-orang sepertinya. “Anda ini Tuhan apa, kok seenaknya sendiri bisa menentukan nasib orang,” kata si sopir marah. Karena telah menduga si sopir pernah berzina, akhirnya Mahmud diturunkan di jalan.
Perjalanan mencari tempat melihat hilal berlanjut. Ia kemudian disuguhkan penggerudukan umat Nasrani saat beribadah oleh orang-orang Islam aliran garis keras. Konflik yang awalnya dilatari pakrir itu meluas hingga mereka dilarang beribadah di daerah itu. Singkat cerita, Kepiawaian Heli akhirnya membuat kedua belah pihak berdamai lagi. Konflik selanjutnya ada di sebuah kampung yang telah melakukan Takbiran, padahal sejatinya hilal belum terlihat sehingga belum masuk Idul Fitri. Mereka meyakini Idul Firti sudah datang berdasar metode yang telah turun menurun diwariskan di daerah itu. Melihat ibadah yang tak sesuai dengan ketetapan Rasulullah, Mahmud pun menyatakan apa yang mereka perbuat adalah bid’ah.
Perjalanan panjang untuk sampai di tempat melihat hilal akhirnya selesai, mereka sampai di tempat yang dimaksud. Mahmud pun puas karena bisa melihat hilal dengan metodenya yang berarti esok telah masuk Idul Fitri. Film berdurasi 94 menit ini ditutup dengan meninggalnya Mahmud setelah melakukan perjalanan panjang itu.
Bagi saya, film ini menjadi sentilan bagi para pendakwah yang kaku, memandang ajaran yang benar adalah ajaran yang ia pahami. Kebenaran versi dirinya membuat orang lain yang tak sesuai dengan pemahamannya perlu diluruskan.
Saya teringat ceramah KH. Muwaffiq dalam suatu kesempatan. Menentukan hal yang benar dan yang salah merupakan sesuatu yang mudah bagi pendakwah. Yang sulit dan jadi tantangan tak cuma menyalahkan, tapi harus membuat solusi dari permasalahan yang ada. Banyak yang terjebak menyalahkan tanpa bisa menyuguhkan cara pandang bijak terhadap masalah itu.
Jogja, 16 Juli 2015